Wai Humba, merupakan sebuah kata yang disepakati
sebagai slogan penyatu dari keempat kabupaten di pulau sumba, yakni; sumba
timur, sumba tengah, sumba barat dan sumba barat daya. Wai humba terinspirasi
dari keberadaan empat pusat kota besar di pulau sumba yang berawalan wai atau
wee (air), seperti; Waingapu di Kabupaten Sumba Timur, Wai Mbakul di Kabupaten
Sumba Tengah, Waikabubak di Kabupaten Sumba Barat dan Waitabula di Kabupaten
Sumba Barat Daya.
Pengakuan adanya persamaan ras sebagai orang HUMBA
mendorong terbentuknya sebuah komunitas yang dinamakan “komunitas wai humba”.
Melalui komunitas ini, masyarakat dari empat kabupaten dapat melakukan
pertukaran informasi seputar potensi dan masalah yang dihadapi di wilayah
masing-masing.
Adapun orang Humba memiliki kepercayaan asli marapu,
mereka melakukan kegiatan ritual-ritual adat, seperti; kalarat wai (diambil
dari bahasa humba kambera). Kalarat Wai merupakan aktivitas religius aliran kepercayaan
Marapu dengan melakukan persembahan di sumber mata air, bahkan hingga saat ini
masih terus dijalankan oleh masyarakat penganut marapu di pulau sumba. Selain
merupakan ibadah ucapan syukur, kegiatan ini juga sekaligus sebagai ibadah
permohonan kepada sang pencipta agar senantiasa melimpahkan karunia air buat
orang Humba. Sampai saat ini, masyarakat adat di kawasan tempat persembayangan masih
mengkramatkan/ melarang aktivitas pengrusakan di tempat mata air.
Air dipercaya bersumber dari keberadaan hutan yang
terbentang luas membungkus gunung-gunung di Sumba. Oleh karenanya, keempat
kabupaten yang menyatu dalam satu wadah yang bernama wai humba, memiliki misi
yang sama, yakni melindungi gunung-gunung di humba sebagai penyuplai air bagi
makhluk hidup di dalamnya. Dengan demikian, dicetuslah sebuah kegiatan rutin tahunan
yang dinamakan “festival wai humba” yang saat ini akan terselenggara yang ke V
di Haharu-Kabupaten Sumba Timur. Festival ini dihadiri oleh empat gunung di
Sumba, yakni; Wanggameti di Kabupaten Sumba Timur, Tana Daru di Sumba Tengah, Puronumbo di Sumba Barat dan
Yawilla di Sumba Barat Daya.
Selain berfungsi sebagai penyuplai utama air
penghidupan bagi penduduk, keberadaan gunung-gunung tersebut di atas juga
sebagai sumber Pangan
lokal, Tanaman Obat-Obatan dan kayu, yang dapat mendukung keberlangsungan hidup
manusia. Jauh sebelum adanya hukum positif Negara berdaulat NKRI, nenek moyang
orang Humba sudah menyadari pentingnya menjaga hutan di gunung-gunung. Adapun
perlindungan oleh masyarakat adat dilakukan dengan kearifan lokal setempat,
yakni membuat ritual persembayangan di pusat-pusat sumber mata air. Tujuan
persembayangan ini untuk mengkramatkan mata air dan tidak dirusak oleh
siapapun, apabila ada yang melanggar maka akan berisiko kena bala atau hukuman
dari ketua adat.
Ritual
adat pengkeramatan air yang dilakukan oleh penganut kepercayaan marapu terbukti
ampuh pada masanya, hingga datangnya pemikiran rasionalitas yang membawa
agama-agama modern dengan nilai-nilai baru, yang secara massif telah merusak
tatanan kehidupan social, ekonomi dan politik yang telah lama melekat pada
masyarakat marapu. Selain itu, pemerintahan berdaulat juga turut andil dalam upaya pengikisan
terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat di daerah pegunungan, salah
satunya melalui kebijakan investasi dengan memberi ijin eksploitasi
pertambangan kepada investor di daerah kawasan tangkapan air.
Berdasarkan
pada berbagai persoalan di atas, masyarakat adat di wilayah empat gunung
menyadari bahwa mereka tidak bisa berjuang sendiri pada masing-masing wilayah
untuk menjaga asetnya dari upaya pengrusakan oleh pihak lain, tetapi perlu
untuk merapatkan barisan dengan kesamaan kepentingan, satu suara “tolak
eksploitasi pertambangan di tana humba”.
Maka atas dasar itulah, saat ini terus dilakukan kegaitan tahunan
festival Wai Humba yang saat ini sudah akan yang ke V kalinya di Haharu.
Adapun
tema festival kali ini adalah “Tapanuangu” diambil dari bahasa humba kambera,
yang berarti ‘kita terhubung’. Kita dari empat kabupaten, dari empat gunung,
terhubung dalam satu wadah “wai humba”.
Kegiatan
ini akan tetap dan terus dilakukan pada setiap tahunnya sebagai wujud cinta
terhadap tanah leluhur, bukti persatuan masyarakat humba untuk menolak
eksploitasi tambang di tanah humba. Serta, lebih daripada itu adalah sebagai upaya
mewariskan nilai-nilai persatuan kepada generasi humba berikutnya, bahwa kita
hanya terpisah secara administrative wilayah pemerintahan, tetapi tetap dalam
satu ras Humba yang berdaulat secara adat dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar